Pendakian Gunung Aconcagua
Sepuluh Tahun Pendakian Gunung Aconcagua: Mendaki Gunung Salju dalam Keadaan Jetlag
Pengalaman Max Agung Pribadi meliput tim Indonesia Seven Summits Expedition Mahitala Unpar (ISSEMU) mendaki Gunung Aconcagua pada Januari 2011.
Rombongan kami beranggotakan sembilan orang. Empat anggota utama tim ditambah saya dan Detri, serta tiga guide dari Acomara yaitu Holmes Pantoja, Mauricio Moreno, dan Marcos Sentis. Holmes alias Apu yang memimpin pendakian.
Hari itu kami menyusuri jalan setapak membelah Lembah Vacas sampai ke Pampa de Lenas (2.862m), yang menurut orang setempat artinya dataran tinggi berumput hijau.
Perbekalan selama beberapa minggu ke depan dimuat di mulas, hewan hasil silangan kuda dan keledai.
Di kawasan Pegunungan Andes, mulas memang berjaya sebagai kendaraan angkut beban. Mulai dari produk pertanian sampai barang logistik pendakian gunung.
Lucu juga melihat sosok hewan tangguh ini. Leher dan kepala pendek dengan kuping panjang seperti keledai, namun bentuk badan dan kaki-kaki menyerupai kuda.
Mulas dikendalikan oleh para gembala yang disebut gaucho. Bisa berminggu-minggu lamanya mereka berkelana di gunung menggembalakan mulas. Ada saatnya kami bertemu mereka di perkemahan.

Pesta gaucho
Pampa de Lenas memang bukan hanya pos pendakian, tapi juga kerap digunakan para gaucho untuk beristirahat.
Karena besok akan pulang, malam itu para gaucho berpesta.
Sederhana saja, dengan berbotol-botol vino yang diminum bersama dengan potongan roti kering dan daging sapi yang dibakar.
Mereka bernyanyi dan menari sepanjang malam.
Batu lepas
Keesokan paginya kami melanjutkan berjalan menuju Casa de Piedra di ketinggian 3.200 mater.
Pos pendakian ini berupa sebuah bangunan kecil yang didirikan dari tumpukan batu.
Jalan tanah kering berbatu mengikuti aliran Sungai Vacas, meliuk-liuk diapit lereng-lereng besar kecoklatan, berpadu dengan hijau pohon pinus, semak-semak, dan aneka tumbuhan.
Dilatari langit biru, pemandangan alam itu sangat memukau. Kemiringan lereng bervariasi, namun masih tergolong landai.
Yang menyusahkan adalah batuan lepas di jalan setapak. Saat diinjak, batu-batu itu bergerak membuat kaki tergelincir ketika menginjaknya.
Harus hati-hati betul melangkah jika tak ingin kaki terkilir. Saya harus berkonsentrasi memilih langkah.
Padahal kantuk karena jetlag dan perubahan jam biologis, karena beda waktu antara Indonesia dan Argentina yang bertolak belakang, belum juga hilang.
Maka saya jalan sambil terkantuk-kantuk dan terantuk batu. Ini yang membuat langkah saya jadi lambat.
Dari segi usia yang saat itu 37 tahun, ternyata saya paling tua di tim itu.

Sekitar pukul 18.00 kami tiba di Casa de Piedra dan mendirikan tenda di sekitar pos. Sejumlah tim lain juga bermalam di situ. (Bersambung)
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!