Pendakian Gunung Aconcagua

Sepuluh Tahun Pendakian Gunung Aconcagua: Mendaki Gunung Salju dalam Keadaan Jetlag

Pengalaman Max Agung Pribadi meliput tim Indonesia Seven Summits Expedition Mahitala Unpar (ISSEMU) mendaki Gunung Aconcagua pada Januari 2011.

Editor: AC Pinkan Ulaan
Warta Kota/Max Agung Pribadi
Perjalanan menyusuri Lembah Vacas yang indah. 

AWAL Januari 2011, tim Indonesia Seven Summits Expedition Mahitala Unpar (ISSEMU) mencapai puncak Gunung Aconcagua (6.962m) di Argentina.

Pendakian yang berjalan lancar berubah jadi mencekam, karena dalam perjalanan turun tim disambut badai El Viento Blanco yang termasyhur di kalangan pendaki gunung dunia.

Wartawan Warta Kota, Max Agung Pribadi, yang ikut dalam pendakian itu menyaksikan perjuangan tim, agar selamat dari terpaan angin kencang dan hujan salju di ketinggian 6.000-an meter dari permukaan laut (dpl).

Sepuluh tahun sudah berlalu tapi kisah tiga jam yang mencekam di sekitar puncak gunung tertinggi di sub-benua Amerika Selatan itu masih jelas terekam dalam ingatan Max.

Dia menuliskan kembali kisah pendakian tersebut.

***

WARTA KOTA TRAVEL -- KANTUK akibat jetlag setelah terbang selama dua hari dari Jakarta belum sirna, tapi tidak bisa berlama-lama saya istirahat.

Setelah bertemu tim di Mendoza, kota terdekat di kaki Gunung Aconcagua, saya langsung ikut sederet kegiatan persiapan akhir pendakian.

Kami briefing, cek peralatan, memilah barang bawaan yang akan diangkut, dan membeli beberapa tambahan logistik yang diperlukan.

Mampir ke Puente del Inca, objek wisata berupa situs arkeologi hunian Indian di tebing batu dekat gerbang Aconcagua Provincial Park.
Mampir ke Puente del Inca, objek wisata berupa situs arkeologi hunian Indian di tebing batu dekat gerbang Aconcagua Provincial Park. (Warta Kota/Max Agung Pribadi)

Penugasan yang serba cepat

Memang semua berjalan serba cepat, bahkan sejak di Jakarta.

Hanya sebulan sebelum keberangkatan saya menerima undangan untuk meliput pendakian ISSEMU di Aconcagua.

Antara iya dan tidak, keraguan sempat memenuhi benak. Pasalnya saya belum pernah mendaki gunung salju, apalagi sampai setinggi itu.

Pengalaman zaman sekolah dulu hanya mendaki gunung-gunung di Jawa, Bali, sampai Lombok.
Pernah juga mendaki Gunung Kinabalu di Malaysia, tapi itu saja.

Namun di sisi lain, itu impian lama. Lagipula, pendaki mana yang menolak ajakan mendaki gunung bersalju?

Didukung kesiapan fisik yang sudah terbiasa bersepeda ke mana-mana selama bertahun-tahun, keraguan itu tidak berlama-lama singgah.

Dukungan dari Pemimpin Redaksi (Pemred) Warta Kota ketika itu, Dedy Pristiwanto, juga menguatkan saya untuk berangkat.

Lalu hal yang paling berat adalah meminta izin dari keluarga sebab liputan kali ini memang lain.

Sudah seperti prajurit yang akan berangkat perang, yyawa taruhannya.

Maka, sebulan waktu persiapan juga diisi usaha menjelaskan sejernih mungkin pentingnya penugasan ini.

Tidak hanya menuliskan laporan perjalanan, tapi Warta Kota menjadi menjadi bagian dari sejarah tuntasnya pendakian Tujuh Puncak Dunia, yang baru pertama kali dipersembahkan putra-putri Indonesia.

Menjadi saksi bagaimana sejarah itu diukir di salah satu gunung.

Jetlag

Singkat cerita, pada 25 Desember 2010 saya bersama Detri Wulanjani, anggota Mahitala Unpar lainnya, berangkat menyusul tim yang sudah lebih dulu ada di Argentina.

Saat itu tim utama yang terdiri dari Sofyan Arief Fesa, Broery Andrew , Xaverius Frans, dan Janatan Ginting  baru saja menyelesaikan pendakian Gunung Vinson Massif di Antartika.

Penerbangan ke Argentina sungguh panjang. Kalau dihitung-hitung hampir 36 jam ada di udara, dengan transit di Doha, Qatar; Sao Paolo, Brasil; dan Buenos Aires, Argentina.

Dari Buenos Aires kami terpaksa ke Santiago, Cile dulu karena penerbangan langsung ke Mendoza saat itu penuh.

Padahal kalau langsung, Mendoza yang terletak sekitar 1.000 km sebelah barat Ibu Kota Argentina itu dapat ditempuh dalam waktu satu setengah jam penerbangan saja.

Meski masih teler karena jetlag, saya tetap berusaha konsentrasi mengikuti ritme tim.

Briefing dilanjutkan pemilahan barang di apartemen sewaan di pusat kota selesai sore hari.

Malam hari kami jalan-jalan di pusat kota Mendoza yang indah, mencari makan malam berupa steik.

Kami memang diminta menyantap makanan berkalori tinggi menjelang pendakian. Termasuk steik Mendoza yang memang porsinya sulit saya habiskan.

Menuju Penitentes

Pagi 27 Desember 2010, dengan minibus kami meninggalkan Mendoza menuju Penitentes. Ini kampung kecil persis di depan gerbang masuk Aconcagua Provincial Park.

Di pinggir jalan dekat kampung itu terdapat obyek wisata terkenal Puente del Inca.

Tempat ini jadi lokasi wisata favorit, dengan objek berupa hunian Indian Inca yang terpahat di tebing batu dan tanah. Tebing itu dapat disaksikan dari pinggiran jalan.

Kami bermalam di sebuah hotel kecil di Penitentes, yang berudara kering dan dingin karena angin dari gunung langsung menyapa.

Pagi sekali, dengan kendaraan minibus kami jalan ke gerbang untuk melapor di pos jaga yang dinamai Punta de Vacas, dan memulai pendakian dengan berjalan kaki.

Aconcagua Provincial Park merupakan kawasan dilindungi yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Mendoza. Makanya izin pendakian dan penjelajahan di area itu diurus di Mendoza.

Pos Pampa deLenas

Rombongan kami beranggotakan sembilan orang. Empat anggota utama tim ditambah saya dan Detri, serta tiga guide dari Acomara yaitu Holmes Pantoja, Mauricio Moreno, dan Marcos Sentis. Holmes alias Apu yang memimpin pendakian.

Hari itu kami menyusuri jalan setapak membelah Lembah Vacas sampai ke Pampa de Lenas (2.862m), yang menurut orang setempat artinya dataran tinggi berumput hijau.

Perbekalan selama beberapa minggu ke depan dimuat di mulas, hewan hasil silangan kuda dan keledai.

Di kawasan Pegunungan Andes, mulas memang berjaya sebagai kendaraan angkut beban. Mulai dari produk pertanian sampai barang logistik pendakian gunung.

Lucu juga melihat sosok hewan tangguh ini. Leher dan kepala pendek dengan kuping panjang seperti keledai, namun bentuk badan dan kaki-kaki menyerupai kuda.

Mulas dikendalikan oleh para gembala yang disebut gaucho. Bisa berminggu-minggu lamanya mereka berkelana di gunung menggembalakan mulas. Ada saatnya kami bertemu mereka di perkemahan.

Mulas yang dikendalikan oleh para gaucho menjadi pengangkut beban yang efektif di Pegunungan Andes, Amerika Selatan.
Mulas yang dikendalikan oleh para gaucho menjadi pengangkut beban yang efektif di Pegunungan Andes, Amerika Selatan. (Warta Kota/Max Agung Pribadi)

Pesta gaucho

Pampa de Lenas memang bukan hanya pos pendakian, tapi juga kerap digunakan para gaucho untuk beristirahat.

Karena besok akan pulang, malam itu para gaucho berpesta.

Sederhana saja, dengan berbotol-botol vino yang diminum bersama dengan potongan roti kering dan daging sapi yang dibakar.

Mereka bernyanyi dan menari sepanjang malam.

Batu lepas

Keesokan paginya kami melanjutkan berjalan menuju Casa de Piedra di ketinggian 3.200 mater.

Pos pendakian ini berupa sebuah bangunan kecil yang didirikan dari tumpukan batu.

Jalan tanah kering berbatu mengikuti aliran Sungai Vacas, meliuk-liuk diapit lereng-lereng besar kecoklatan, berpadu dengan hijau pohon pinus, semak-semak, dan aneka tumbuhan.

Dilatari langit biru, pemandangan alam itu sangat memukau. Kemiringan lereng bervariasi, namun masih tergolong landai.

Yang menyusahkan adalah batuan lepas di jalan setapak. Saat diinjak, batu-batu itu bergerak membuat kaki tergelincir ketika menginjaknya.

Harus hati-hati betul melangkah jika tak ingin kaki terkilir. Saya harus berkonsentrasi memilih langkah.

Padahal kantuk karena jetlag dan perubahan jam biologis, karena beda waktu antara Indonesia dan Argentina yang bertolak belakang, belum juga hilang.

Maka saya jalan sambil terkantuk-kantuk dan terantuk batu. Ini yang membuat langkah saya jadi lambat.

Dari segi usia yang saat itu 37 tahun, ternyata saya paling tua di tim itu.

Casa de Piedra , salah satu pos pendakian Gunung Aconcagua.
Casa de Piedra , salah satu pos pendakian Gunung Aconcagua. (Warta Kota/Max Agung Pribadi)

Sekitar pukul 18.00 kami tiba di Casa de Piedra dan mendirikan tenda di sekitar pos. Sejumlah tim lain juga bermalam di situ. (Bersambung)

Sumber: Warta Kota
Ikuti kami di
873 articles 182 0
Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.


Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved