WARTA KOTA TRAVEL -- Kegiatan wisata itu banyak bentuknya, dan belakangan ini yang sedang naik daun adalah wisata sepeda.
Ada yang pergi dengan rombongan komunitas sepeda, dan tak sedikit yang melakukannya secara solo, alias seorang diri.
Vary Situmorang, dedengkot komunitas South City Loop, kali ini melakoninya seorang diri, saat dia menyusuri rute Ring of Merapi.
Dia membagi perjalanannya ini untuk pembaca Warta Kota.
Libur cuti bersama selama dua hari di akhir bulan Oktober ini menjadi momen yang tepat untuk berpergian ke Yogyakarta, sekaligus mengunjungi mertua bersama anak-anak.
Tentunya sayang jika liburan ini dilewatkan tanpa bersepeda. Maka saya berencana mengambil waktu sejenak, untuk bersepeda menikmati keindahan alam khas Yogyakarta.
Sepeda lipat saya pun turut serta di bagasi mobil menuju Yogyakarta.
Setelah menghabiskan waktu sehari bersama keluarga, maka pada hari Jumat sekitar pukul lima pagi saya memulai perjalanan menuju rute Ring of Merapi. Rute ini menjadi dambaan saya sejak beberapa bulan terakhir.
Pagi itu cuaca terlihat cerah, udara sejuk pagi menyapa ramah, dan terang mulai mengintip dari sela-sela pepohonan di sepanjang jalan Desa Sedan, tempat saya menginap.
Jalan-jalan pedesaan di daerah Sleman ini terawat baik dengan sisi kiri dan kanan jalan yang bersih pula, sebagaimana yang saya temui hampir di seluruh wilayah Yogyakarta.
Sungguh suatu harmonisasi budaya masyarakat yang luhur, menghargai infrastruktur yang telah dibangun oleh pemerintah daerah.
Dalang kembar
Selepas Desa Sendang Adi, saya pun mengayuh ke arah utara menuju Jalan Gito Gati dan pertigaan Denggung.
Nama Jalan Gito-Gati sendiri diambil dari nama dua seniman kembar, dalang andalan Kabupaten Sleman yang berasal dari Dusun Pajangan, Desa Pandowoharjo.
Mereka memiliki nama asli Ki Sugito dan Ki Sugati, yang lahir pada tahun 1933.
Setelah lampu merah Denggung, saya lanjutkan ke kanan, ke arah utara menyusuri Jalan Raya Magelang.
Di jalan itu saya mencari minimart untuk sekedar mengisi perbekalan air, karena belum sempat sama sekali mengisinya.
Namun hanya terlihat beberapa warung kelontong yang sudah mulai beraktivitas. Ya sudah, saya lanjutkan saja perjalanannya sekalian nanti cari sarapan.
Tampak beberapa warga mulai menyapu halaman rumah dan warung, pertanda dimulainya denyut nadi aktivitas hari itu.
Jejeran rumah sederhana dan pertokoan yang tidak terlalu mewah menjadi ciri khas masyarakat sub-urban nan bersahaja.
Perlahan mengayuh, sampai juga di daerah Tempel, tepatnya di daerah Ngebong.
Di sebelah kiri jalan terlihat pabrik plastik yang sudah lama ditinggalkan begitu saja, kondisinya tidak terawat.
Sarapan murah
Udara sejuk masih terasa, meskipun kendaraan mulai ramai melewati Jalan Raya Magelang.
Sekitar 13 Km mengayuh, sekilas di sebelah kiri mulai tampak tenda kecil yang menjajakan jajanan pasar. Waktunya “mengisi perut” dan mengisi perbekalan air.
Jajanan tradisional tersusun rapih menggugah selera. Saya pun menyempatkan untuk berfoto dan berkenalan dengan penjualnya. Ibu Annisa namanya.
Perempuan tangguh asal desa setempat itu memiliki empat orang anak. Anak sulungnya sedang mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Yogyakarta, dengan bea siswa Bidikmisi.
Suatu program bantuan biaya pendidikan dari pemerintah, bagi warga yang tidak mampu.
Harga jajanan pasar yang dijualnya sangat murah., bahkan ada yang dibanderol Rp 500 per buah. Murah sekali dibanding jajanan pasar di Jakarta.
Saya pun memilih menyantap arem-arem isi oncom yang keliatan menggugah selera, ditambah satu bungkus plastik jus jambu merah.
Perbekalan air di tas dan botol saya isi dengan tiga botol air mineral.
“Jadi berapa semuanya Bu?” tanya saya untuk membayar.
Anissa menjawab dengan angka yang menurut saya murah sekali. Karena itu saya membayar sejumlah dua kali lipat nilai tersebut.
Setelah perut terisi dan perbekalan air sudah diisi cukup, perjalanan saya lanjutkan. Tak terlalu jauh dari warung Ibu Annisa, sampailah saya di daerah Salam, di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah yang ditandai dengan tugu megah.
Sesekali saya berpapasan dan menyapa beberapa pesepeda yang juga mengarah ke Magelang.
Tiba di perbatasan Salam dan Muntilan, tepatnya di Jembatan Sungai Blongkeng, ada pemandangan menarik di sebelah kiri jalan, yaitu Taman 1000 Cinta.
Konon kabarnya, tadinya tempat itu merupakan daerah kumuh yang diubahkan menjadi objek wisata yang instagramable.
Muntilan
Memasuki Kota Muntilan, Toko Tape Ketan Muntilan seakan menjadi ikon menyambut kedatangan tiap orang yang memasuki kota ini.
Toko yang sudah berdiri sejak tahun 1935 ini merupakan salah satu destinasi favorit saya juga, bila berkunjung ke kota Muntilan.
Jika dilihat dari tata kotanya, tepatnya di Jalan Pemuda, Muntilan terlihat sebagai kota yang sudah lama berdiri, yaitu sejak peralihan kekuasaan atas Karesidenan Kedu dari Kesultanan Yogyakarta kepada pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1812.
Tidak jauh dari toko tersebut ke arah pusat kota, di sebelah kanan jalan terlihat megah Wihara Hong An Kiong yang sudah berdiri sejak 1871.
Dalam benak saya, kota kecil ini ini sungguh menarik dengan cerita sejarahnya.
Pagi masih menyisakan kesejukan di tengah hiruk pikuk aktivitas masyarakat di sepanjang Jalan Raya Magelang.
Mulai menanjak
Asik mengayuh, tak terasa lampu merah simpang Blabak, jalan utama menuju Ketep, sudah terlihat di depan mata.
Memasuki Jalan Blabak Mungkid, jalan beton mulus dan lebar mulai sedikit menanjak.
Pemandangan kiri dan kanan jalan mulai menyajikan hamparan hijau sawah dan perkebunan warga.
Sempat berpapasan dengan ibu-ibu yang jalan berarak, berangkat menuju sawah memulai pekerjaan mereka hari itu.
Beranjak makin ke utara di sebelah kanan nampak penginapan Resort Sevilla yang asri, dan kelihatan jejeran mobil terparkir rapat. Menandakan okupansi hotel itu penuh saat libur panjang ini.
Perlahan mengayuh ditemani aroma udara segar khas pedesaan, sayapun memasuki wilayah Kecamatan Sawangan.
Jalan sudah mulai terasa lebih menanjak, tapi saya tetap usahakan mengayuh santai dengan gear yang ringan sambil menikmati pemandangan.
Kiri dan kanan jalan masih menyajikan perkebunan warga, diselingi dengan balai desa, puskesmas, Bank BRI, area pemakaman umum warga, dan sekolah.
Setelah melewati pertigaan Jalan Veteran (menuju Muntilan) dan Jalan Serma Darmin (menuju Candi Asu), saya pilih jalan yang paling kiri dan disambut tanjakan lumayan terjal.
Namun sambil melihat kiri kanan kesederhanaan kehidupan di desa, tanpa terasa tanjakan ini bisa dilalui juga.
Menjelang simpang Ketep Pass mulai terlihat Gunung Merapi di sebelah kanan, dan Gunung Merbabu di sebelah kiri.
Dan kita bisa melihat dengan jelas lereng pertemuan dua gunung ini. Suatu pemandangan yang mengagumkan.
Tiba di simpang Ketep Pass dan Selo, saya melanjutkan ke arah kanan, yaitu Jalan Blabak – Boyolali menuju Selo.
Jalan menurun bagaikan bonus, karena dari tadi disuguhi tanjakan.
Di jalan ini, beberapa kali saya berpapasan dengan mobil pribadi bernomor polisi Jakarta, yang menanjak dari arah Boyolali menuju Ketep. (bersambung)
Halaman selanjutnya