WARTA KOTA TRAVEL -- Hari masih gelap pada Sabtu (24/10/2020) subuh, ketika saya bersiap-siap memenuhi ajakan Vary Situmorang untuk bersepeda jarak jauh mengitari kaki Gunung Salak, Jawa Barat.
Sepeda dan perlengkapannya sudah siap sejak semalam, sehingga pukul 05.00 saya sapa angin pagi yang membelai wajah di atas sadel.
Rute sepanjang 226km yang sudah beberapa kali saya lalui ini selalu menyenangkan untuk disusuri kembali.
Bertemu Vary di pos polisi Permata Hijau, kami langsung bergerak menuju perempatan Gaplek, Ciputat.
Vary termasuk tokoh berpengaruh di komunitas pesepeda di kawasan Jakarta Selatan. Jam terbangnya tinggi di berbagai medan jalan.
Blusukan di jalan tanah atau menyusuri rute jarak jauh di berbagai daerah sudah dilakoninya sejak dulu.
Saya berkenalan dengannya saat bersepeda di Gelora Bung Karno. Di tempat itu berkumpul pesepeda yang tergabung dalam komunitas SSS (Sepeda Sehat Senayan).
Anggotanya banyak yang berprofesi sebagai dokter, dan kalangan profesional lain yang di usia mapan.
Bahkan banyak di antaranya sudah mencapai 60 tahun, tapi tetap aktif bersepeda.
Menghindari kemacetan
Di perempatan Gaplek, sejumlah kawan menunggu. Selain dari SSS, kebanyakan mereka tergabung di komunitas South City Loop di mana Vary memimpin.
Ada enam orang lagi yang ikut pagi itu, sehingga rombongan kami terdiri dari delapan orang. Didi, Jamal, Fadrian datang lebih dulu, disusul Yani, Pikki, dan Ovi.
Sepeda yang digunakan bervariasi. Ada yang menunggang sepeda balap, sepeda gunung, dan satu orang menunggang sepeda lipat.
Rencana awal, sebagian akan bersepeda sampai Cianten lalu kembali pulang lewat jalur yang sama.
Sebagian lagi menyusuri rute lanjutan, yang di peta tergambar mengelilingi Gunung Salak.
Tak berlama-lama, pukul 06.30 kami langsung bergerak menuju Bogor, menyusuri Jalan Raya Parung. Lalu lintas masih belum terlalu ramai.
Kami lalu berbelok ke Perumahan Telaga Kahuripan, mengambil jalan pintas menuju Ciampea.
Istirahat sebentar di pertigaan jalan, lalu lanjut hingga Pasar Ciampea yang ramai, berbelok ke kanan menuju Ciaruteun.
Jalan menyusuri kampung dan perkebunan relatif lebih sepi daripada Jalan Raya Bogor-Jasinga, yang biasanya saya susuri untuk menuju kawasan ini.
Vary, yang memang kenyang pengalaman bersepeda jarak jauh, menunjukkan jalan alternatif ini untuk menghindari kemacetan di Pasar Ciampea, dan ramainya lalu lintas di jalan raya.
Namun sebagaimana jalan di perkampungan, banyaknya marka kejut terasa mengganggu keasyikan melaju.
Jalan itu berujung di Jalan Raya Leuwiliang persis dekat jembatan Sungai Cianten.
Di pertigaan setelah pasar kami berbelok ke kiri ke arah PLTA Karacak. Dari situ jalan mulai menanjak landai.
Selepas PLTA, jalan aspal mulai mengelupas dan rusak di sana sini. Didi yang menunggang sepeda balap dengan ban kecil repot juga menghadapi jalanan seperti itu.
“Baru asyik dapat irama gowes nanjak, ketemu jalan rusak, harus pelan lagi,” tuturnya.
Didi mengaku terpaksa memakai sepeda balap karena sepeda gravel miliknya, yang lebih cocok untuk medan seperti itu, sedang dipinjam kakaknya.
Jalan rusak terus seperti itu sampai menjelang Puraseda. Sejumlah pekerja tengah mengerjakan pembetonan di jalan itu.
Keluar dari Puraseda, tanjakan lebih terjal dimulai. Namun lalu lintas tak lagi ramai.
Berganti dengan desau angin, serangga hutan, dan sesekali knalpot motor yang meraung di tanjakan.
Kami terus mendaki perbukitan, pindah dari satu punggungan ke punggungan yang lain sampai Cimangu.
Rekoneksi dengan alam
Di sebuah lahan terbuka, pandangan leluasa ke arah Gunung Halimun di sebelah kanan dan Gunung Salak di sebelah kiri.
Pada bagian ini kelompok terpecah dua. Didi, Yani, Ovi, dan Jamal di depan, lalu saya dan Vary menemani Pikki di belakang.
Tak jauh dari tanjakan Cimangu ban depan Pikki kempes, dan kami ganti ban dalam yang baru.
Karena proses ini jarak kami tertinggal dengan kelompok depan semakin jauh.
Perlahan kami susuri jalanan yang merayap memasuki kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Di satu tikungan kami bertemu pancuran dari mata air di pinggir jalan. Berhenti sejenak di sana untuk sekadar mencuci muka, dan minum air langsung dari mata air yang mengucur di pancuran bambu itu.
“Waduh di Jakarta enggak ada yang kayak gini,” kata Pikki yang baru pertama kali menyusuri jalur ini.
Karyawan perusahaan mebel terkenal itu sudah sering mendengar jalur bersepeda di kawasan Cianten, namun belum pernah berpeluang mencicipinya.
Ketika kesempatan itu datang, dia sudah dua minggu tak bersepeda sehingga dia merasa fisiknya kedodoran.
Di tanjakan itu heart rate-nya sempat melonjak sampai mendekati zona 6, yang mengharuskan dia sering berhenti untuk menenangkan diri.
“Memang kalau medan begini ini latihan enggak bohong ya. Sudah dua minggu enggak bersepeda latihan, terasa betul ini fisik turun. Tidak perlu memaksakan diri, selalu ingat semua ada batasnya,” tuturnya saat kami berjalan di belakang.
Pikki mengakui, perjalanan bersepeda jarak jauh itu seperti jembatan yang mempertemukannya kembali dengan lingkungan alam apa adanya.
Semacam rekoneksi yang menghadirkan kesadaran diri dan rasa syukur yang mendalam.
Pancuran dari mata air seperti itu kami temukan di beberapa titik selanjutnya, suguhan cuma-cuma dari alam Gunung Salak yang masih asri, terasa begitu menyegarkan.
Di hutan Gunung Butak, lengkingan elang tiba-tiba memecah keheningan. Tidak bulat betul suaranya, mungkin masih anakan.
Sosoknya tak berhasil saya temukan di antara kelebatan puncak pepohonan yang menutupi jalan.
Kehadiran predator itu dan burung-burung lain di perjalanan selalu menarik, karena burung menggambarkan keasrian suatu kawasan (bersambung). (M Agung Pribadi)
Halaman selanjutnya