WARTA KOTA TRAVEL -- "Hand sanitizer-nya Bu,"kata Bli Dewo dengan ramah, dan kedua tangannya terulur memegang sebotol besar hand sanitizer.
Otomatis saya mengulurkan kedua tangan juga, dengan telapak tangan terbuka ke atas.
Crut..crut... cairan bening dan kental hand sanitizer tersebut meluncur dalam jumlah besar ke telapak tangan saya.
Sambil menggosok-gosok kedua telapak tangan, saya naik ke mobil Toyota Hi-ace yang kami gunakan mengelilingi pada Bali akhir pekan kemarin. Dewo adalah sopir mobil Hi-ace tersebut.
Bukan cuma sekali Dewo mengingatkan saya dan teman-teman untuk memakai hand sanitizer sebelum masuk ke mobilnya, melainkan berkali-kali setiap kami akan selesai mengunjungi objek wisata, makan di restoran, bahkan saat kami akan meninggalkan hotel.
Biarpun dia sedang duduk-duduk santai menunggu kami selesai berkunjung, bila melihat salah satu dari kami muncul, dengan sigap Dewo berdiri.
Kemudian dia membuka pintu tengah mobilnya, mengambil botol hand sanitizernya yang besar itu, dan siap membagikan cairan disinfektan untuk tangan tersebut.
Tak lupa dia tersenyum saat mengatakan, "hand sanitizer, Bu."
Saya tahu dia tersenyum walaupun mulut dan hidungnya tertutup masker, karena matanya tertarik ke samping seperti biasanya mata orang yang sedang tersenyum.
Biasanya saya akan menjawab, "jangan banyak-banyak, Bli." Pasalnya, sekali semprot saja cairan yang keluar bisa seukuran uang logam Rp 500.
Tertib CHSE
Tindakan Dewo ini sangat betul di masa pandemi Covid-19, karena membersihkan tangan adalah bagian gerakan 3M untuk mencegah penyebaran virus corona 2.
Selain membersihkan tangan, dua M lainnya adalah memakai masker dan menjaga jarak. Keduanya pun dilakukan dengan tertib oleh Dewo.
Selama di mobil dia mengenakan masker. Kemudian, Hi-ace yang seharusnya bisa membawa 11 orang termasuk sopir, kemarin hanya diisi 8 orang saja, sehingga ada jarak antar-penumpang.
Selain itu, mobil yang dibawa Dewo juga selalu bersih dan harum setiap kali saya masuki.
Pokoknya apa yang dikerjakan Dewo itu sudah sesuai dengan protokol CHSE yang sedang digalakkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Yang lebih menarik lagi, kemarin saya lihat Dewo tidak sendirian dalam menerapkan protokol CHSE ini.
Hampir semua pelaku pariwisata di Bali melakukannya, seperti sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Setiap rombongan kami berkunjung ke objek wisata, pasti kami langsung diarahkan untuk mencuci tangan dulu, kemudian masuk satu per satu sambil diperiksa suhunya.
Di Tanah Lot, tampak tanda X yang besar berwarna merah di bangku-bangku taman, sebagai peringatan untuk menjaga jarak.
Untuk informasi, CHSE adalah singkatan dari Cleanliness, Health, Safety, and Environment sustainability.
CHSE di restoran
Begitu pula yang saya alami di restoran dan hotel.
Bahkan di restoran jumlah pengunjung dalam satu meja dibatasi.
Ada restoran yang menggunakan simbol X warna merah sebagai tanda kursi itu tak boleh diduduki.
Yang seperti ini saya jumpai di restoran Grand Puncak Sari di Kintamani, Natrabu di Sanur, dan Bebek Tepi Sawah di Kuta.
Ada juga yang menandainya dengan meletakkan table mats di posisi yang aman sesuai protokol CHSE, seperti di De Jukung Resto & Bar di Tanah Lot, serta Art Cafe Bumbu Bali di Nusa Dua.
Penganan untuk rombongan kami disajikan secara a la carte, dan benar-benar untuk satu orang. Jadi enggak ada lagi deh berbagi menu, apalagi icip-icipan makanan teman.
Sementara untuk pengunjung yang merupakan satu keluarga, masih bisa penyajian secara family style, alias satu piring makanan diletakkan di tengah meja dan semua orang di meja itu bisa mengambilnya.
Di restoran Grand Puncak Sari saya melihat sebuah meja saji prasmanan tak digunakan, karena memang aturan CHSE mengimbau agar sajian prasmanan ditiadakan dulu, sampai situasi benar-benar aman dari pandemi Covid-19.
Itu pula yang dilakukan hotel Courtyard di Seminyak, di mana sarapan pagi tak lagi disajikan secara prasmanan.
Namun untuk memesan menu a la carte pun tamu tak diberikan daftar menu dalam bentuk cetakan.
"Bu, untuk daftar menu breakfast bisa dilihat di sini ya," kata pramusaji yang mengantar saya ke meja, sambil meletakkan sebuah papan dengan kode Quick Response (QR code) di meja.
Amboi, sekarang buku menu pun diganti dengan versi digital supaya tidak menjadi wahana virus corona 2 pindah ke orang lain.
Semuanya itu demi mencegah kemungkinan virus degil ini menyebar di antara pengunjung restoran.
Pasalnya, begitu sebuah restoran dikaitkan dengan pasien Covid-19, maka tempat itu harus tutup untuk disterilkan.
Periksa suhu
Dewo dan para pelaku industri wisata di Bali ini setidaknya sudah menerapkan bagian kebersihan (cleanliness) dan kesehatan (health), yakni dengan menyediakan sarana membersihkan tangan, membersihkan kendaraan secara rutin, menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti masker, dan menerapkan jarak aman.
Kemudian ada sebuah perilaku baru juga yang saya lihat di Bali kemarin, yakni mengukur suhu tubuh pengunjung.
Ketika rombongan kami tiba di Pura Taman Ayun Mengwi, ada seorang petugas yang khusus mengukur suhu tubuh para pengunjung.
Kemudian setiap orang diarahkannya untuk mencuci tangan di tempat yang sudah disediakan. Ada dua wastafel lengkap dengan sabun dan tisyu untuk mengeringkan tangan.
Padahal, kalau dipikir-pikir, tadi kan saya baru saja membersihkan tangan dengan hand sanitizer yang disemprotkan Dewo.
Namun tak ada salahnya membersihkan tangan lagi, kali ini mencuci tangan dengan sabun, agar semakin kecil risiko saya tertular Covid-19.
Dengan begitu, turut mengecil pula risiko saya menularkan Covid-19 kepada orang lain.
Pemeriksaan suhu tubuh serta instruksi mencuci tangan juga saya temukan saat berkunjung ke setiap objek wisata, memasuki setiap restoran untu makan, dan saat kembali ke hotel.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan, suhu tubuh aman adalah di bawah 37,3 derajat Celcius.
Bila tamu memiliki suhu tubuh itu, pemeriksaan harus diulang lima menit setelah pemeriksaan pertama.
Bila angkanya masih sama, maka orang itu tidak boleh masuk ke sebuah tempat.
Hanya saja kemarin seringkali thermometer itu diarahkan ke tangan pengunjung, bukan di dahi seperti yang kebiasaan yang saya tahu.
Karena penasaran, hal ini saya tanyakan kepada Prawira, pemandu rombongan kami.
"Karena waktu itu ada yang protes. Kata Dia kalau thermometer ke dahi bisa berdampak ke otak. Di tangan dan dahi hasilnya sama saja, " kata Bli Wira, panggilan akrabnya.
Ditambahkan Bli Wira, protes itu bukan terjadi di Bali melainkan di Jakarta. Saya hanya manggut-manggut.
Warga Bali memakai masker
Kalau soal memakai masker, jangan ditanya lagi karena semua petugas di setiap objek wisata yang saya kunjungi selalu mengenakan masker.
Maskernya juga jenis masker medis, yang memiliki kemampuan menghalangi virus keluar sampai 90-an persen.
Masyarakat Bali yang terlihat oleh mata saya sepanjang akhir pekan kemarin, semuanya memakai masker.
Bahkan ada seorang pemotor yang melaju di jalan mengenakan masker, tapi tidak pakai helm. Duh...
Memang ada regulasi dari pemerintah daerah setempat, yakni sanksi denda bagi warga yang kedapatan tidak memakai masker. Besarnya Rp 100.000.
Bisa jadi nominal denda itu yang membuat warga menjadi tertib bermasker.
Tapi bisa jadi pula sudah muncul kesadaran melindungi diri dari virus corona 2 di masyarakat, agar pandemi ini segera berakhir dan kehidupan kembali normal seperti sebelum pandemi.
Normal yang dimaksud di sini adalah kembalinya turis ke Bali, karena perekonomian Bali sangat tergantung dari pariwisata.
Badan Pusat Statistik (BPS) Bali pernah menghitung Tourism Satellite Account (TSA) di provinsi ini untuk tahun 2019, dan mendapatkan angka 50,02 persen.
Artinya, persentase kontribusi industri pariwisata Bali sebesar 50,02 persen bagi perekonomian di Bali.
Turis keras kepala?
Dari perjalanan selama 3 hari 2 malam di Bali kemarin, saya bisa mengatakan bahwa para pelaku sektor pariwisata di Bali, bahkan masyarakatnya, sudah siap menjalankan protokol CHSE.
Namun yang menjadi pertanyaan saya sekarang, apakah turisnya juga sudah siap melakukan protokol CHSE ini?
Saya mengaku, kadang saya sendiri masih suka lupa mengenakan masker saat keluar rumah.
Kemarin saja, saya sempat keluar dari kamar tanpa masker. Untungnya baru berjalan beberapa langkah saya segera menyadari kealpaan itu. Terpaksa deh kembali ke kamar untuk memakai aksesoris wajib ini.
Pastinya tidak semua wisatawan seperti saya, karena tak sedikit turis yang keras kepala, ngotot dulu walaupun salah.
Apakah mungkin masyarakat Bali yang ramah bisa menjadi tega seperti aparat di Singapura?
Negeri jiran Indonesia itu kondang dengan julukan "Fine City" alias kota denda, karena pelanggaran kecil pun ada sanksi dendanya. Makanya turis Indonesia langsung jadi tertib kalau berada di Singapura.
Untuk pertanyaan di atas, sampai saat ini saya belum mendapat jawabannya .
Halaman selanjutnya