Akses berita terupdate se-indonesia lewat aplikasi TRIBUNnews

Bersepeda Menyusuri Salak Loop 2: Bertemu Mansur, Satu-satunya Pemuda Cikidang yang Bersepeda

Editor: AC Pinkan Ulaan
Pohon-pohon tinggi dan rindang meneduhi jalan menuju Cianten.

WARTA KOTA TRAVEL -- Bertemu teman dalam sebuah perjalanan rasanya sangat menyenangkan. Itulah yang kami rasakan ketika seorang teman datang menyapa di tengah tanjakan.

Menjelang Curug Cibeureum, tak disangka-sangka kami bertemu Mansur, anak muda asli Cikidang yang juga penggemar sepeda jarak jauh dan blusukan.

“Kirain siapa, setelah noleh baru ngeh ternyata beneran Om Vary,” tutur Mansur dengan nada riang.

Mansur dan Vary saling menyapa. (Warta Kota/M Agung Pribadi)

Seperti senang betul bertemu kawan lama, Mansur pecicilan di atas sepedanya.

Di sebuah tanjakan terjal dia angkat ban depan sepedanya agak lama sambil terus mengayuh (wheelie) mendaki jalanan.

Lama bekerja di sebuah toko sepeda di kawasan BSD, Mansur kini menekuni pekerjaan baru di kawasan yang sama.

Seminggu sekali dia pulang ke Cikidang dengan bersepeda. Karena itu hampir setiap jengkal rute itu dikenalnya dengan baik.

Bahkan pemilik warung di sepanjang jalan sudah hapal betul kelakuan anak muda yang rumahnya tak jauh dari Jembatan Sungai Citarik itu.

“Kalau lagi jalan ke arah Pelabuhan Ratu, mampir Om. Bisa istirahat di rumah. Tanya saja orang pasti kasih tahu, karena di situ jarang ada yang sepedaan,” tutur Mansur saat kami beristirahat di pintu masuk Curug Cibeureum, obyek wisata di jalur itu yang kini terbengkalai.

Mansur ternyata menemani empat kawannya, termasuk dua yang baru pertama kali menyusuri jalur itu. Mereka hendak menuju Ciletuh.

Mansur (kiri), pemuda Cikidang yang gemar bersepeda, dan satu-satunya warga kampungnya yang bersepeda. (Warta Kota/M Agung Pribadi)

Warung Mang Ujang

Kami melanjutkan perjalanan mendaki hingga batas Perkebunan Teh Cianten. Sudah pukul 11.30 saat kami tiba di warung Mang Ujang.

Warung yang terletak di tikungan batas antara kebun teh dan hutan itu memang terkenal sebagai tempat istirahat, di kalangan komunitas pesepeda.

Mereka yang bersepeda dari Jakarta mencapai warung ini biasanya tepat pada tengah hari, atau saatnya makan siang.

Maka pas jika warung ini menjadi semacam oase di tengah kesejukan kebun teh.

Istirahat sambil mendinginkan badan yang panas di tanjakan, sekalian makan siang.

Di tempat ini lalu kami berpisah. Pikki, Didi, dan Ovi kembali ke Jakarta lewat jalur berangkat.

Belakangan kami tahu kelompok kecil ini sempat mengalami kendala ban bocor sampai dua kali.

Ban sepeda Didi dua-duanya bocor, dan giliran ban belakangnya Pikki bocor juga. Tapi semua dapat teratasi.

Adapun Yani, Jamal, Fadrian, Vary, dan saya melanjutkan perjalanan ke arah Cipeuteuy, Kabandungan, dan seterusnya sesuai rencana. Kami melalui jalur yang membelah kebun teh.

Lupa foto

Hujan turun menggantikan terik mentari, yang sebelumnya menemani kami mendaki sampai kawasan ini. Basuhan air dari langit terasa menyegarkan sekali.

Lepas dari kebun teh, kami pindah punggungan besar. Kini di sebelah kanan terhampar pemandangan lepas ke arah Gunung Halimun yang berlapis-lapis.

Fadrian menikmati desau angin dan tanjakan. (Warta Kota/M Agung Pribadi)

Setelah pindah punggungan, jalan mendaki berpagar tebing di sebelah kiri dan jurang di sebelah kanan.

Semua sibuk menekuni tanjakan hingga lupa melihat sekeliling.

Saya sudah ingatkan untuk melihat sekeliling, menikmati perjalanan jarak jauh di suatu kawasan.

Jalanan menikung berpagar besi di atas lereng itu merupakan salah satu titik paling tepat, untuk menikmati indahnya pemandangan gunung yang mengampar luas dari ketinggian. Terlalu sayang untuk dilewatkan.

“Wah, sepertinya harus kembali ke sini lagi untuk berhenti di titik itu,” tutur Fadrian, yang terlihat menyesal melewatkan titik itu tanpa berhenti dan berfoto.

Hujan deras kini mengguyur bumi. Kami meluncur menembus angin dingin yang menerpa baju yang basah kuyup.

Dua tanjakan di Gunung Kendeng menutup pendakian si tengah hujan hari itu.

Dari Cipeuteuy kami tinggal meluncur turun ke arah Kabandungan.

Pemandangan kini berhanti dengan jalur jalan yang diapit pohon-pohon besar.

Jalanan menurun landai meliuk-liuk mengikuti lembar besar Sungai Citarik di sebelah kanan. Terkadang jalan menanjak landai lalu turun lagi.

Selepas Klapanunggal sudah pukul 16.00. Badan letih dan kedinginan membuat warung bakso di pojokan tikungan menjadi tempat yang pas untuk memperbaiki keadaan.

Sebelum melanjutkan perjalanan, Vary sempat melumasi rantai yang mengering karena tanah dan kotoran. Lainnya mempersiapkan lampu-lampu untuk perjalanan malam.

Ujian mental

Tak lama kami meluncur turun sampai Parung Kuda, dan bertemu Jalan Raya Bogor-Sukabumi.

Hari kembali menjadi gelap. Hujan deras menyergap lagi di kawasan Caringin, namun kami terus berjalan menembusnya.

Semakin lama semakin deras disertai petir dan angin kencang, sehingga kami putuskan berhenti di sebuah minimarket, yang di halamannya ada penjual susu jahe.

Hampir setengah jam kami berhenti menunggu hujan reda. Saat kembali mengayuh, angin dingin yang membuat badan mengigil sempat menguji semangat.

“Waktu jalan habis istirahat dan dingin sampai bikin menggigil itu saya sempat kepikiran untuk berhenti saja. Memang akhirnya mental diuji dalam perjalanan seperti ini ya. Seru,” tutur Fadrian, satu-satunya yang bersepeda lipat di kelompok ini.

Fadrian mengaku baru mulai bersepeda awal tahun ini. Namun dia sudah mengenyam sejumlah rute jarak jauh, seperti Jakarta-Cirebon.

Pernah pula dia mengikuti Audax, ajang bersepeda jarak jauh dengan batasan waktu.

Mengatasi godaan untuk melipat sepeda dan menaikkannya ke kendaraan bermotor, dia melanjutkan perjalanan bersama kami menembus malam, di sela rintik hujan dan lampu kendaraan di jalur ramai itu.

Berhenti di minimarket di Jalan Raya Bogor-Sukabumi karena hujan deras, sekalian menikmati susu jahe panas, Sabtu (24/10/2020). (Istimewa)

Di Bogor Jamal terpisah dari kelompok, dan melanjutkan perjalanan pulang sendiri.

Kami sempatkan istirahat dan menyantap bubur ayam di Jalan Jenderal Sudirman Bogor, lalu langsung tancap kayuhan sampai Jakarta.

Pukul 22.00 kami berpisah di Kebayoran Lama. Perjalanan sepanjang 226km yang penuh warna itu berakhir di sini.

Seperti dikatakan Vary, perjalanan bersepeda jarak jauh berkelompok di alam terbuka selalu memikat.

Perjalanan itu menjadi sebentuk upaya menemukan kembali makna kebersamaan di atas sepeda (Tamat). (M Agung Pribadi)

Halaman selanjutnya

Lupa foto ...

Sumber: Warta Kota