WARTA KOTA TRAVEL -- Jalan-jalan ke luar negeri sepertinya masih sulit diwujudkan warga
Indonesia pada tahun ini, karena kasus Covid-19 di Indonesia masih tinggi.
Meski begitu, tahun ini bisa dipakai untuk meracik rencana jalan-jalan
yang sudah Anda idam-idamkan, sehingga matang dan tinggal ekseskusi.
Pengalaman Iwan Budiyanto ini mungkin juga bisa menjadi inspirasi, dalam
mematangkan rencana itu.
Dunia petualangan Indonesia tak pernah kekurangan sosok inspiratif, dengan
kegiatan yang dilakukannya di alam terbuka.
Salah satu sosok itu adalah Iwan Budiyanto (48), yang akrab dikenal dengan
julukan Iwan Sunter.
Sekitar dua tahun lalu Iwan menyelesaikan perjalanan fenomenal bersepeda
mendaki Thorong La (5.416m).
Celah gunung tertinggi di Annapurna Circuit itu selama ini sering didaki
wisatawan yang ingin mencicipi jalur pendakian di Pegunungan Himalaya.
Sejumlah event bersepeda ekstrem juga rutin digelar di jalur itu.
Namun, sejauh yang dapat dijangkau informasinya, belum ada pesepeda
Indonesia yang melintas dengan sepeda di jalur itu.
Tim Warkot Gowes kali ini, mengunjungi Iwan Sunter di tempat tinggal di
dekat Pasar Bambu Kuning, Sunter, Jakarta Utara, Selasa (21/7/2020).
Saya bersepeda dari Kebayoran Lama dan bertemu Ote di kawasan Sunter.
Hari itu Ote memilih naik KRL dari Stasiun Pondokcina menuju Stasiun
Rajawali, lalu bersepeda ke Pasar Bambu Kuning.
Kami kemudian menyusuri jalan-jalan kecil di lingkungan pasar tradisional
dekat Danau Sunter, untuk menemui Iwan.
Dia memang anak kampung situ, karena sejak lahir hingga kawin dan punya
anak satu menetap di situ.
Saat kami datang menjelang sore, dia masih sibuk bekerja bongkar muat
barang.
Menurunkan barang dari truk dan memindahkannya ke gerobak untuk diangkut
ke toko-toko yang ada di pasar. Begitulah keseharian Iwan Sunter yang kami
saksikan.
Tak berselang lama, tugasnya selesai. Di samping gerobaknya, di pinggir
jalan, kami gelar kardus dan mendengar dia bercerita tentang perjalanannya
yang mengasyikan itu.
Iwan adalah sosok sederhana yang penuh rasa ingin tahu. Gerakannya juga
gesit.
Di sela obrolan datang truk atau mobil boks pengangkut barang, dengan
sigap Iwan berdiri dan mengatur parkir mobil itu.
Kemudian dia bekerja lagi menurunkan bawaan mobil itu.
“Ya begini inilah sehari-hari kerjaan saya,” kata Iwan membuka percakapan.
Keseharian kerja yang mengandalkan olah fisik itu, membuatnya tak perlu
mempersiapkan diri secara khusus untuk menempuh perjalanan jauh.
Saat akan mengikuti kegiatan lari dari Aceh sampai Jakarta, sejauh 2.500
km, misalnya, dia tinggal melatih kelenturan dan kerasnya permukaan
telapak kaki dengan bekerja sambil nyeker, tanpa alas kaki.
Begitu pula saat akan bersepeda di Himalaya, dia menambah porsi latihan
dengan bersepeda di sekitar tempat tinggalnya.
Enam bulan dia mempersiapkan perjalanan ke Thorong La itu.
Bantuan teman-teman
“Paling pusing ya cari duit. Kita mau ke mana aja, bikin kegiatan apa aja,
intinya harus ada duit. Untuk itu saya jualan kaos. Beberapa kawan membeli
dengan harga jauh melebihi banderol, dan jadi donasi untuk saya,” tutur
Iwan, sambil menyebut beberapa nama kawan yang banyak membantu.
Sebagian besar kawan dari komunitas sepeda, terutama Bike Pe’a, komunitas
pesepeda yang doyan bersepeda jauh lalu camping.
Tiket pulang-pergi ke Nepal didapatnya dari sang kakak. Kebutuhan sisanya
didapat dari bekerja ekstra jadi tukang parkir di akhir pekan, dan
menyisihkan pendapatan hariannya.
Total dia menghabiskan dana Rp 8 juta untuk perjalanan itu.
Tak banyak kesulitan berarti di perjalanan. Apalagi dia mendapat bantuan
dari seorang pesepeda Nepal yang dikenalnya lewat Facebook, Raju.
Jadi begitu tiba di Kathmandu, dia dijemput Raju di bandara dan diajak
tinggal di rumah temannya itu.
Sempat berkeliling Kathmandu sampai ke Thamel, Iwan juga dikenalkan dengan
sejumlah kawan pesepeda setempat dan dijamu.
“Kejutan perjalanan selalu ada, seperti punya keluarga di manapun kita
pergi. Jadi selama di Kathmandu saya nggak keluar apa-apa, malah banyak
teman baru dan dijamu terus,” tuturnya.
Dalam perjalanan dari Kathmandu ke Pokhara, kota terakhir sebelum mendaki
ke arah Thorong La, dia ditemani Raju. Mereka lalu berpisah di pertigaan
menuju Besisahar.
Dari titik itu Iwan melanjutkan perjalanan seorang diri, menunggang sepeda
gunung bersuspensi depan (hardtail).
Sepeda itu dipasangi rak belakang untuk mengikat ransel berisi barang
bawaan seberat 15 kilogram.
Dia memulai perjalanan bersepeda mendaki jalur berbatu dan berpasir sampai
ke Thorong Pedi.
Ransel seberat 15 kilogram diikanya di rak belakang sepeda.
Terkadang, bila jalur terlalu terjal dan sepeda harus dituntun, ransel itu
dia panggul.
"Sejak dari Thorong Pedi jalurnya terjal sekali. Jadi ransel sering
dipanggul, dan sepeda kadang dituntun dan kadang dipanggul juga. Nggak ada
masalah, Cuma lutut sering sakit gantian kanan-kiri. Setiap perjalanan
memang ini lutut suka bermasalah," tutur Iwan.
Cara seperti itu dilakoninya sampai ke Manang (3.519m).
Sepanjang perjalanan empat hari itu dia menginap di losmen murah yang
disediakan penduduk desa.
Untuk mengurangi beban, tenda dan sejumlah perlengkapan yang tidak
diperlukan ditinggalkan di Pokhara.
Soalnya Iwan sudah mendapat informasi lebih detail, tentang penginapan di
sepanjang jalur yang akan dilalui.
Tantangan
Hari kelima, dia langsung menyerbu puncak gunung sambil bersepeda
melintasi lereng bersalju.
Menurut Iwan, tantangan yang terberat adalah tipisnya kadar oksigen di
udara, sekitar 40 persen, saat mencapai ketinggian di atas 4.000 meter di
atas permukaan laut.
Bersepeda di ketinggian itu, katanya, membutuhkan mental yang benar-benar
kuat.
"Dada terasa sesak dan dinginnya minta ampun. Bawa sepeda sambil manggul
ransel gitu badan remuk rasanya, tapi saya lakoni saja pelan-pelan," tutur
Iwan yang pada tahun 2015 berlari dari Aceh ke Jakarta sejauh 2.500
kilometer.
Hal lain yang mengesankannya adalah,"Pertama kalinya melihat es batu turun
dari langit dan hujan salju," tuturnya sambil tertawa.
Mengibarkan Merah Putih
Dari Manang dia terus mendaki sambil menuntun sepeda, hingga akhirnya
sampai juga di puncak Thorong La pada 23 April 2018 siang hari.
Iwan langsung mengibarkan Sang Merah Putih di sana.
Tak berlama-lama, duda satu anak berambut gondrong itu kemudian meluncur
turun ke Muktinath, dilanjutkan sampai ke Tatopani. Salah satu target
penjelajahan di Nepal pun terpenuhi.
Siapapun bisa
Setengah merenung Iwan mengatakan, setiap perjalanan selalu
menghadapkannya kepada momentum introspeksi diri.
Sendirian di tengah hamparan salju, gunung besar, dan keheningan membuat
dirinya dipenuhi rasa syukur dapat menerima semua pengalaman perjalanan.
“Bersyukur bisa melihat semua keindahan, dan introspeksi juga atas semua
kesalahan selama ini ke lingkungan sekitar, ke orang-orang yang pernah
saya buat salah. Semua terbuka di sana,” tutur Iwan.
Iwan memang tergolong petualang serba bisa. Rasa ingin tahu yang besar
mengatasi semua keterbatasan.
Disamping mengumpulkan uang bulanan untuk anaknya, yang kini berusia 9
tahun dan ikut ibunya di Lampung, dia tetap menabung untuk perjalanan.
Petualangann berikutnya
Iwan juga tak mau hanya menggantungkan penjelajahan pada satu moda,
semisal bersepeda atau berjalan kaki. Dia selalu ingin mencoba hal baru
dengan segala tantangannya.
Maka dia punya keinginan melanjutkan penjelajahannya, menyusuri Pulau Jawa
dengan inline skate.
Persiapan sudah mulai dilakukan, dan seharusnya tahun ini dia melakoni
perjalanan itu. Namun rencana itu terhadang pandemi Covid-19.
Untuk sementara ini Iwan harus bersabar menunggu pandemi ini mereda,
sebelum petualangannya dilanjutkan kembali.
Soal perjalanan bersepeda jarak jauh Iwan berpesan, semua pesepeda mampu
melakukannya dengan persiapan yang matang.
Yang terpenting adalah mau belajar dari berbagai sumber, dan tidak menutup
diri.
Apalagi sekarang sumber informasi terbuka luas, dan orang punya banyak
pilihan untuk berkegiatan.
“Duit memang penting, dan mengumpulkan duit untuk membiayai perjalanan itu
bagian dari tekad mewujudkan perjalanan itu. Makanya kalau sudah punya
tekad ya apapun harus dihadepin, termasuk bagaimana caranya ngumpulin
duit,” tandasnya.
Tak terasa hampir dua jam kami ngobrol di pinggir jalan. Senja menjelang
dan kami pamit pulang menyusuri kawasan Kemayoran sampai Palmerah.
Lalu lintas padat. Langit biru kelam di keremangan senja memeluk Jakarta
yang ramai.
Seramai pikiran yang berkecamuk tentang perjalanan kami berikutnya.
Nantikan saja, Sob. (M Agung Pribadi)
Halaman selanjutnya