Pendakian Gunung Aconcagua

Sepuluh Tahun Pendakian Gunung Aconcagua (4): Semakin Tinggi Angin Semakin Kencang dan Menyeramkan

Watak asli Gunung Aconcagua semakin terlihat begitu Tim Indonesia Seven Summits Expedition Mahitala Unpar (ISSEMU) semakin tinggi mendaki.

Editor: AC Pinkan Ulaan
Warta Kota/Max Agung Pribadi
Camp III dengan latar belakang Gletser Guanacos. 

- Semakin tinggi mendaki, angin Aconcagua semakin kencang dan dingin. Namun itu belum yang terparah

- Ancaman AMS masih mengintai Tim Indonesia Seven Summits Expedition Mahitala Unpar (ISSEMU).

- Di ketinggian 5.500 meter dpl otak menjadi "beku"

WARTA KOTA TRAVEL -- Keesokan harinya, pagi sekali, kami kembali mendaki ke Camp I, menapaki jalur yang tertutup salju tipis sisa hujan semalam.

Seperti sebelumnya, tiba di Camp I disambut angin kencang dari atas lereng besar yang menghadap ke badan gunung.

Masuk ke tenda North Face VE-25 yang sudah berdiri sungguh bagai hiburan tersendiri.

Angin kencang itu sungguh menggetarkan. Tak hanya membuat suhu drop lebih rendah, ia seperti mengiris-iris jaket windbreaker dan beberapa lapis pakaian yang kami kenakan.

Permukaan kulit yang tak terlindung, seperti wajah, terasa perih ditampar angin kencang tersebut.

Saya satu tenda dengan Ian, dan Frans bersama Broery. Tenda kami pun berderak-derak menahan tiupan angin.

Terkadang saking kencangnya angin, kami berdua tiduran sambil memegangi rangka tenda yang meliuk agar jangan sampai patah.

Arus dari Samudra Pasifik

Dalam buku Aconcagua, Summit of the Americas, Mauricio Fernandez menggambarkan kecepatan angin di gunung itu mencapai 80-100km/jam, bercampur hembusan salju dan halilintar yang seakan melindungi mahkota puncak gunung.

Menurut pemandu gunung itu, iklim mikro Aconcagua dipengaruhi tiga hal, yakni pola arus laut dari selatan dan barat Samudera Pasifik, angin, dan bentuk permukaan bumi.

Jarak gunung seluas 39 kilometer persegi itu hanya 100-an kilometer dari samudera.

Gunung itu menerima hembusan Arus Equatorial Counter yang hangat dari barat, dan Arus Humboldt yang dingin dari arah selatan Pegunungan Andes.

Tak heran bila kandungan air pada salju di pegunungan itu sangat sedikit, dan cuaca ekstrem berubah sewaktu-waktu.

Di dalam tenda yang ditiup angin kencang itu rasanya seperti terbang di terowongan angin.

Terkena AMS

Keesokan harinya, waktu seharian kami isi dengan mendorong logistik ke Camp II (5.100m).

Pendakian cukup berat karena kami mendaki lereng bersalju, yang kemiringannya mencapai 45-50 derajat sambil memanggul beban.

Saat tiba di Camp II, giliran saya yang merasakan gejala accute mountain sickness (AMS) yang cukup mengganggu.

Perjalanan mendaki dari Campi 1 (4.700 m dpl) ke Camp 2 (5.500 m dpl), dengan lereng yang terjal.
Perjalanan mendaki dari Campi 1 (4.700 m dpl) ke Camp 2 (5.500 m dpl), dengan lereng yang terjal. (Warta Kota/Max Agung Pribadi)

Kepala terasa pening berdenyut-denyut seperti dijepit dengan kuat, dan perut terasa mual.

Sesaat setelah sampai di Camp II saya cepat-cepat turun ke Camp I.

Saya paksakan untuk minum lebih banyak dan beristirahat. Dalam pendakian gunung tinggi itu memang kita diharuskan minum lebih banyak dari biasanya.

Jika di dataran rendah kita minum 2-3 liter per hari, maka dalam pendakian itu kita diharuskan minum minumal 5-6 liter dalam sehari.

Hal itu dilakukan untuk mengatasi dehidrasi, mengganti cairan tubuh yang cepat hilang karena fungsi vital tubuh bekerja berat di ketinggian.

Kecukupan cairan juga menjaga kekentalan darah tetap di ambang batas yang aman, supaya dapat mensuplai oksigen ke otak.

Di dalam tenda, di saat kepala begitu pening, saya sempat mengungkapkan ke Ian keraguan untuk melanjutkan pendakian.

Ian santai menanggapinya, dan meminta saya tidur untuk memulihkan kondisi.

Ternyatanya ketika bangun pagi keesokan harinya, badan terasa segar dan semangat pulih untuk melanjutkan pendakian.

Hari itu kami mendaki dengan mantap sampai ke Camp II, lalu langsung dilanjutkan ke Camp III pada ketinggian 5.500 meter.

Max Agung Pribadi, wartawan Warta Kota, berusaha menulis hasil liputannya di Camp 3 (5.950 m dpl).
Max Agung Pribadi, wartawan Warta Kota, berusaha menulis hasil liputannya di Camp 3 (5.950 m dpl). (Istimewa/Mahitala Unpar)

Otak beku

Di Camp III itu saya coba menuliskan laporan harian di lembaran kertas.

Kertas itu saya titipkan kepada porter yang turun gunung, untuk diserahkan kepada Janatan yang ada di base camp.

Kemudian Janatan yang mengirimkan tulisan itu lewat sambungan internet.

Ternyata sulit sekali menulis di ketinggian itu. Menemukan kata demi kata dan merangkainya menjadi satu kalimat menjadi begitu sulit.

Pikiran rasanya ikut membeku di tengah dekapan suhu minus 15-20 derajat Celcius dan tekanan udara rendah.

Setiap hari, pemandu memeriksa kadar oksigen dalam darah dengan oksimeter.

Bila kadar oksigen kurang dari 6, maka orang tersebut tidak boleh melanjutkan pendakian.

Sampai Camp III itu kadar oksigen dalam darah saya tidak ada masalah, rata-rata 7,8 sampai 8.

Begitu pula Ian, Broery dan Frans, tidak ada masalah karena rata-rata di atas 8.

Maka hari berikutnya kami lanjutkan melangkah ke High Camp atau Camp Colera, di ketinggian 5.970 meter.

Ini merupakan camp terakhir sebelum summit attack. (Bersambung)

Sumber: Warta Kota
Ikuti kami di
878 articles 182 0
Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.


Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved