Ekspedisi Negeri di Atas Awan Citorek

Mengintip Jejak Eduard Douwes Dekker di Museum Multatuli

Sangking fenomenalnya, karya ini telah diterjemahkan ke 40 bahasa di dunia bahkan difilmkan.

Editor: AC Pinkan Ulaan
Warta Kota/Achmad Subechi
Patung Multatuli, Saidjah dan Adinda karya pematung terkemuka jebolan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Dolorosa Sinaga. (Foto: Achmad Subechi) 

JUMAT (18/10) pagi, Tim Ekspedisi Negeri di Atas Awan Citorek Warta Kota menginjakkan kaki di Museum Multatuli di jantung kota Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. Lokasi tepatnya di depan alun-alun kota.

Kunjungan ke museum kali ini untuk menggali kiprah pemilik 'tinta emas' yang menjadi tonggak perubahan paradigma soal praktik kolonialisme. Berikut laporannya:

HALAMAN itu tampak asri. Rimbun pepohonan membuat suasana jadi teduh.  Ditambah lagi dengan bubuhan desain ornamen eksentrik, berupa lorong buatan yang bernilai seni tinggi, mulai dari gerbang menuju area halaman.

Dari tempat itu, sejenak mata tertuju kepada sebuah bangunan bergaya eropa klasik yang berpadu dengan pendopo besar di depannya. Bangunan itu tampak masih kokoh, meskipun usianya tak lagi muda.

Gedung itu adalah bekas kantor Wedana Lebak yang dibangun pada 1923.  Bangunan ini juga pernah menjadi kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Rangkasbitung.

Ada pendopo di depan Museum Multatuli. Di pendopo inilah, anak-anak muda Rangkasbitung melakukan kegiatan seni dan berbagi kegiatan pendidikan lainnya. (Foto: Achmad Subechi) (Warta Kota)
Ada pendopo di depan Museum Multatuli. Di pendopo inilah, anak-anak muda Rangkasbitung melakukan kegiatan seni dan berbagi kegiatan pendidikan lainnya. (Foto: Achmad Subechi) (Warta Kota) (Warta Kota/Achmad Subechi)

Gedung kemudian dipugar dan dimanfaatkan sebagai Museum Multatuli semenjak awal 2018 lalu.

Wilayah Kabupaten Lebak di Provinsi Banten memiliki akar budaya maupun sejarah yang panjang dan kuat.

Menelusuri Lebak, sama halnya berusaha menemukan catatan-catatan penting sejarah yang terserak.

Sebagai bagian penting dari Kesultanan Banten kala itu, Lebak banyak menyimpan kisah kolonialisme yang berlangsung selama berabad-abad.

Nah, di museum ini, kita bisa mencari informasi penting soal perjalanan Lebak dari masa ke masa. 
Juga soal tragedi-tragedi yang menjadi sisi kelam praktik kolonialisme Hindia-Belanda di wilayah Lebak dan sekitarnya.

                                                                  ***

SEJUMLAH murid sekolah dasar bermain riang gembira di area pendopo yang berdekatan dengan pintu utama gedung museum.

Seorang perempuan petugas museum tersenyum manis menyambut kami di meja informasi. 
Ia menawarkan brosur berisi ringkasan penjelasan soal museum.

"Selamat datang di Museum Multatuli. Silahkan brosurnya, pintu masuknya ada di sebelah sana," ujarnya sangat ramah.

Dari brosur yang kami lihat, museum ini memiliki tujuh ruang pamer dengan desain interior sudah dirancang modern. Pencahayaan ruang serta penyajian informasi dikemas apik melalui multi-platform, baik dalam bentuk podcast maupun audio-visual.

'Tugas Seorang Manusia Adalah Menjadi Manusia'. Kalimat itu tertulis besar di dinding dan segera terbaca ketika kami masuk ke area museum.

Di ruang Selamat Datang itu juga terdapat mozaik wajah dari potongan akrilik serta patung wajah Multatuli.

Sayup-sayup terdengar suara musik dari property multimedia, memberikan sensasi lain berada di museum itu.

Kami melangkah ke ruang selanjutnya. Ruang kedua ini dinamakan Ruang Kolonialisme, mengisahkan masa awal kedatangan penjelajah Eropa ke Nusantara, khususnya ke Banten.

Pada ruang ketiga, menyajikan situasi tanam paksa melalui sketsa yang terangkai dalam dinding ruangan.

Memahami visual itu, mudah merasakan bagaimana tersiksanya masyarakat Lebak masa itu ketika harus menjadi pesuruh di tanah sendiri.

Orang-orang kolonial memeras tenaga mereka, mengiris perasaan mereka, hingga menimbulkan dampak luar biasa di berbagai aspek kehidupan.

Keempat, adalah ruang Multatuli dan situasi Lebak pada saat ia menjabat sebagai Asisten Residen Lebak.

Pada ruangan ini terdapat koleksi buku Max Havelaar asli yang didatangkan dari Belanda.
Kelima adalah ruang Banten yang menceritakan gerakan perlawanan rakyat Banten terhadap penjajah.

Diceritakan pula situasi politik Banten saat itu, termasuk dinamika yang terjadi.
Keenam adalah Ruang Lebak yang menceritakan perkembangan kabupaten ini dari masa ke masa, mulai dari awal terbentukya Kabupaten Lebak, potensi ekonomi termasuk kisah warga Lebak yang turut dibawa ke Suriname dan dipekerjakan sebagai buruh Tebu.

Sedangkan ruang ke tujuh adalah Ruang Rangkasbitung atau ruang temporary.
                                                                  ***

MUSEUM ini juga menampilkan koleksi benda penting peninggalan Eduard. Salah satunya ubin rumah dinas asisten residen Lebak yang pernah ditempatinya.

Ubin ini, bersama dengan satu ubin lain berwarna hitam, sempat berada di Belanda setelah pada 1987, seorang wartawan asal Belanda, Arjan Onderdenwijngard, membawanya dari Rangkas Bitung.

Saat itu, Arjan datang ke Rangkasbitung untuk menelusuri jejak Multatuli.  Dia menemukan dua ubin itu tak jauh dari reruntuhan rumah dinas Multatuli.

Rumah dinas yang dimaksud saat ini berada di area Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Adjidarmo Raskasbitung, berjarak sekitar 500 meter dari Museum Multatuli.

Kami sempat diajak Ubaidillah Muchtar selaku Kepala UPT Museum Multatuli untuk melihat rumah yang sudah puluhan tahun terakhir mangkrak.

Pada 2016, Multatuli Genootschap menghibahkan ubin tersebut kepada Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya pada sebuah kunjungan di Amsterdam, Belanda.

Sedangkan satu ubin berwarna hitam kini tersimpan di Multatuli Huis, Amsterdam. Selain ubin, ada koin kuno dari tahun 1857 dan alat giling kopi kuno.

Di sisi luar gedung utama museum, kita juga bisa melihat patung Multatuli, Saidjah dan Adinda karya pematung terkemuka jebolan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Dolorosa Sinaga.

Saat kami berkunjung, sejumlah murid dari SDN 01 Rangkas Bitung Barat tengah asyik berkumpul di tempat itu.

***

MULTATULI yang memiliki arti "aku telah banyak menderita merupakan nama pena dari Eduard Douwes Dekker yang bertugas sebagai Asisten Residen Lebak sejak 22 Januari sampai dengan April 1856.

Hati kecilnya bergejolak ketika menyaksikan penerapan sistem tanam paksa oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda terhadap kaum pribumi.

Ia menyaksikan bagaimana orang-orang mengalami penderitaan, kekacauan hidup dan rasa trauma mendalam akibat terkungkung oleh aturan di luar rasa kemanusiaan.

Pria kelahiran Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 itu lama-lama tidak tahan melihat kekejaman sistem tanam paksa yang hanya menimbulkan penderitaan bagi rakyat.

Alasan itulah yang membuatnya mengundurkan diri dari jabatannya. Ia amat kecewa dengan penindasan dan kekejaman yang dilakukan penguasa lokal maupun kolonial terhadap rakyat Banten, khususnya Lebak.

Ia kemudian mengisahkan kegelisahannya melalui karya berjudul Max Havelaar yang kemudian mampu menggemparkan dunia dan berdampak besar bagi 'gaya penjajahan' selanjutnya.

Sangking fenomenalnya, karya ini telah diterjemahkan ke 40 bahasa di dunia bahkan difilmkan.
Tak hanya itu. Selepas masa tugasnya, ia juga memberanikan diri mengirimkan surat kepada Raja Willem III.

Surat yang turut ditampilkan di Museum Multatuli itu memuat protes terhadap situasi di tanah jajahan yang pernah dialaminya serta pemberitahuan perihal naskah buku Max Havelaar yang akan terbit.

Dalam surat ini, ia memohon agar Raja Willem III memberikan perhatian lebih kepada Hindia Belanda yang dikelola sembarangan dan banyak merugikan rakyat

Tajamnya pena Multatuli pun membuahkan hasil. Belanda kemudian menerapkan Politik Etik dengan mendidik kaum pribumi elite, sebagai upaya 'membayar' utang mereka pada pribumi.

Eduard Douwes Dekker tercatat meninggal di Rhein, Jerman, 19 Februari 1887, pada usia 66 tahun. (Feryanto Hadi)

Sumber: Warta Kota
Ikuti kami di
22 articles 182 0
Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.


Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved